Gista sudah tidak tahu lagi apa
maunya Kian, pacarnya. Setiap janjian ingin ketemu, selalu ada saja alasannya.
Yang sibuk sama pekerjaan kantornyalah, yang sedang meeting sama klienlah, yang
harus istirahat karena besok ada rapatlah.
Semua sudah dilalui Gista selama dua minggu ini. Mau tidak mau, Gista menerimanya. Tapi apa daya, hati tak kuat menahan kangen bercampur sebalnya bertemu Kian.
“Yan, kita bisa jalan, besok?” tanya Gista malam Sabtu. Malam itu, Gista telepon Kian menggunakan HP. Kalau telepon rumahnya, percuma. Pasti juga nggak bakalan ada di rumah.
“Aduh, kayaknya nggak bisa deh! Besok aku ada lembur kerja.” Jawab Kian.
“Oh, lembur.” Gista sudah siap akan jawaban Kian. “Tapi, besok kan Sabtu. Masa ada lembur sih? Minggunya kan libur.”
“Perusahaanku harus merombak data ulang. Soalnya ada perusahaan dari luar kota datang ke perusahaanku.”
“Oh,” Gista sudah malas ingin meneruskan pembicaraan ini. “ya udah deh, nggak jadi jalan juga nggak apa-apa. Aku maklum.”
Diputuskannya pembicaraan itu. Tiba-tiba, pikiran buruk mampir di otak Gista. “Buat apa teruskan hubungan ini. Dia sudah nggak peduli lagi sama aku. Toh dia lebih sayang pekerjaannya. Hubungan selama tiga tahun ini, lebih baik pisah. Mungkin status teman lebih baik. Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Ini membuat aku tambah sakit hati.” Katanya pada diri-sendiri. “Tapi, aku masih sayang sama Kian…”
Suatu saat, acara makan malam terlaksana juga. Meski dengan paksaan. “Yan, kamu ini kenapa sih? Kita kan lagi makan malam. Masih mikirin pekerjaan juga? Bisa nggak sih lupain masalah pekerjaan? Sudah lama loh, kita nggak makan malam seperti ini. Sudah satu bulan kita nggak kayak gini.” Sindir Gista.
“Ta, kamu bisa nggak, nggak ngomongin hal kayak gitu! Itu bukan topik pembicaraan yang baik. Masa kamu ungkit masalah kita nggak makan malam satu bulan!” bentaknya.
“Kenapa? Kamu merasa tersindir? Bagus deh, kalau gitu! Berarti kamu sadar, apa yang kamu lakuin selama ini sama aku!”
“Memangnya aku berbuat apa? Aku wajar-wajar aja. Aku nggak mengkhianati kamu!” wajah Kian berubah bingung. Dan berusaha mengingat kejadian apa yang sudah dilakukannya.
“Iya, kamu nggak berbuat apa-apa sama aku. Karena kita sama sekali nggak pernah ketemu!! Kamu nyaris nggak berbuat apa-apa!”
“Maksud kamu?” Kian makin tidak mengerti maksud Gista.“Kamu masih nggak ngerti maksud aku?” Gista beranjak dari duduknya. “Kamu mau tahu? Aku capek, Yan! Aku selalu nunggu kamu ada acara. Aku merasa terabaikan. Sekarang, baru bisa makan malam sekali, kamu bikin suasana nggak enak. Aku ngomong sedikit, kamu sudah marah. Kamu tahu nggak perasaan aku kayak apa?” air mata Gista jatuh. “Aku mau pulang. Aku males mau makan malam sama orang nggak berperasaan kayak kamu!”
Kian ditinggal begitu saja. Kian, masih duduk tak berekspresi. Dia masih bingung sama Gista. Kian membiarkan Gista pergi begitu saja.
Di kampus, Gista terus melamun. Dia masih memikirkan kejadian tadi malam. Selvi, sahabatnya, bingung akan kelakuan Gista yang jadi super-diam ini.
“Ta, kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kamu melamun sendiri?” tanya Selvi. Dia sahabat yang setia. Mengerti sahabatnya betul. Gista berubah sedikit, langsung tahu pasti ada masalah.
“Nggak kok.” Gista bohong.“Nggak? Mana ada orang baik-baik saja, tapi melamun terus. Ada yang dipikirin? Coba kamu cerita ke aku. Mungkin bisa bantu?”
Sesaat mereka diam. Selvi diam, karena dia menunggu Gista sampai dia siap cerita. Sedangkan Gista, dia diam karena dia sendiri bingung akan cerita dari mana.
“Ya udah, kalau masih belum mau cerita. Aku nggak maksa kok.” Ujar Selvi kemudian. “Mungkin kamu butuh sendiri.” Selvi beranjak dari duduknya. Dengan cepat Gista menarik tangan Selvi. Tandanya, dia mulai siap untuk cerita.
“Duduk, Vi.”Sesuai perintah Gista, dia duduk di sebelah Gista.“Vi, aku…” Gista diam lagi.
“Ta, kalau belum siap, nggak usah dipaksain.”
“Aku capek. Sama Kian. Akhir-akhir ini sibuk terus. Aku nggak kuat sama dia. Aku pengin putus.” Ujarnya lirih Selvi tak percaya. “Putus? Yang bener aja. Kalian udah cocok banget. Udah pacaran selama tiga tahun. Gila, kalian itu udah pas banget.”
“Dia lebih sayang sama pekerjaannya. Lebih mentingin pekerjaan dari aku. Setiap mau keluar, pasti ada acara lain. Aku capek!”
“Ta, aku ngerti. Tapi menurutku, dia juga merasa hal yang sama. Dia masih adaptasi sama keadaannya sekarang. Tahun ini dia baru mulai kerja. Jadi wajar kalau dia masih belum bisa membagi waktu sama kamu.”
“Pokoknya aku mau pisah sama dia. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Kalau nyatanya dia sama orang lain gimana. Masa aku tahu. Ketemu aja sebulan sekali. Padahal dia nggak lagi di luar kota.”
“Menurutku, kamu hanya cemburu aja.”
“Vi, kamu ini bukannya kasih solusi tapi malah nyalahin aku.” Gista pergi entah kemana. Selvi ditinggal. Gista merasa semua sudah nggak ada lagi. Hilang…
Di sisi lain…Kian juga sering nggak konsen sama pekerjaannya. Sampai akhirnya dia dipanggil ke kantor pemegang saham di perusahaan itu.
“Anda akhir-akhir ini sering melamun. Ada apa? Apa ada masalah keluarga? Anda bisa bercerita pada saya. Yah, sekedar menenangkan hati Anda kan tidak apa-apa. Mungkin ada yang saya bantu?” Kata Pak Bowo, pemegang saham di perusahaan itu. Kian menjawab sambil tertunduk malu.
“Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil. Masalah saya dengan…” Belum selesai bicara, Pak Bowo langsung menyela.
“Dengan pacar ya? Yah, saya dulu pernah muda. Jadi saya tahu betul. Saya juga sudah mengira. Tapi biar bagaimana pun wanita itu selalu ingin disayang. Atau mungkin anda tidak pernah menyayangi pacar Anda, sehingga dia merasa terabaikan mungkin.”
Kian mengangkat wajahnya. “Terabaikan? Apa mungkin saya tidak menyayangi pacar saya. Sampai-sampai dia marah sama saya?” tanya Kian pada Pak Bowo.
Pak Bowo mengangguk. “Mungkin. Yah, lebih baik, Anda ajak dia makan malam hari ini. Bicarakan baik-baik. Anda jelaskan semua yang telah terjadi. Salah paham itu lebih sulit dari pada masalah yang sebenarnya.”
Kian berdiri dan meraih tangan Pak Bowo. Wajahnya berseri-seri. “Terima kasih, Pak. Iya, saya ingat. Saya sering sekali mengabaikan dia dan mementingkan pekerjaan dari pada dia. Saya sangat berterima kasih. Permisi…” pamit Kian.Kini dia sudah tahu. Apa yang harus dilakukannya. Dia harus mengajaknya bicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dan tentu saja, merubah sikapnya selama ini. Kian menelpon Gista.
“Halo? Nanti malam kita makan malam ya?” ajaknya.
“Nanti malam. Ada apa nih? Kok tiba-tiba ngajak makan malam. Biasanya aku yang ajak makan malam. Udah selesai kerjanya?”
“Iya, nanti malam kita ketemu di restaurant yang biasanya. Oke! Aku tunggu.”
Gista masih bingung. Tapi apa boleh buat. Dia juga ingin mengatakan sesuatu. Yang sangat penting. Dan tidak boleh ditunda lagi.
Malamnya, di sebuah restaurant romantis, Kian dan Gista sudah ada di tempat. Mereka memesan menu spesial. Dan lagi-lagi, Gista bingung sama Kian. Kenapa Kian tiba-tiba berubah jadi berseri sekali.
“Tumben ajak aku makan malam. Mau ngomong sesuatu?” tanya Gista memulai pembicaraan. Tapi nada bicaranya ketus.
“Iya, nih. Apa kamu juga ingin mengatakan sesuatu?”
“Iya, tapi kamu dulu deh.” Katanya masih ketus.
“Oke, mungkin memang lebih dulu aku, karena aku… aku baru sadar akan kelakuanku beberapa minggu ini….”
“Bukan beberapa minggu, tapi sebulan lebih!!” ralatnya.
“Iya, maaf. Sebulan lebih ini, aku terlalu serius sama pekerjaanku. Jadi aku minta maaf. Aku ingin mulai dari nol lagi. Dan… aku janji nggak akan nyuekin kamu lagi.”
Tangannya menggenggam tangan Gista.
“Belum terlambat kan?” Genggaman Kian dilepas mentah-mentah oleh Gista.“Gista?”
“Maaf, Yan. Kamu sudah terlambat. Malam ini, aku minta putus!” Gista berdiri dan meninggalkan Kian sendiri.
“Ta, tapi kita bisa memulainya dari awal!” jerit Kian sambil berlari mengejar Gista. “Gista!! Tunggu!” Kian meraih tangan Gista dan mencegahnya pergi.
“Lepasin! Aku nggak mau hubungan kita ini diterusin.”
“Kenapa enggak? Aku ngaku aku salah. Kamu nggak mau maafin aku? Kita belum terlambat.”
“Kamu pikir satu bulan lebih itu nggak nyiksa bagi aku? Ternyata kamu terlambat. Kamu sadar pas saat aku ingin putus sama kamu!” Kian nggak percaya sama ucapan Gista barusan. Tangannya perlahan melepaskan tangan Gista. Dan begitu tangan Gista lepas seutuhnya, Gista langsung lari tak tentu arah. Saat akan menyebrang jalan, Gista tidak melihat kanan kiri. Sampai akhirnya…CIIIIIT… BRUAK!!! Kian menoleh ke sumber suara.
“Gista…!!!!!!” teriak Kian. Segera dia berlari. Badan lemah Gista berlumuran darah kental yang keluar dari berbagai luka besar. Gista tak sadarkan diri. Kian menggendongnya dan berteriak.
“Panggil ambulan! Cepat!!” teriaknya pada orang-orang yang sedari tadi melihat kejadian itu. “Kenapa kalian hanya menonton saja!! Cepat!!” Tak lama dari kejadian itu, ambulan datang. Gista dibopong masuk ke dalam mobil. Kian juga masuk ke dalam mobil itu. Matanya berair tak tertahankan.
“Ta, bertahan, Ta! Maafin aku! Ini salahku!” sesalnya sambil menggenggam tangan Gista yang berlumuran darah. “Ini salahku, Ta!”Untung saja, rumah sakitnya tidak jauh dari tempat kejadian. Jadi, lebih cepat sampai. Saat kasur dorong Gista mulai diturunkan, semua suster-suster mulai sibuk. Kian sendiri bingung. Dia mengikuti Gista sampai akhirnya dia tidak boleh masuk ke ruang ICU.
“Dok, tolong selamatkan Gista, Dok!” pintanya.
“Kami akan berusaha.” Jawab Dokter singkat. Sungguh lama Kian menunggu kepastian dari dokter. Hatinya gelisah. Dia terus saja menyalahkan dirinya-sendiri.
“Aku nggak akan memaafkan diriku-sendiri kalau terjadi apa-apa sama kamu, Ta!” gumamnya. Dari kejauhan orang tua Gista datang.“Kian, gimana Gista?” tanya Mama Gista.
“Dokternya belum keluar, Tante.” Tiba-tiba dokter yang memerika Gista keluar dari ruangan ICU. Semua langsung menghampiri dokter itu dengan penuh harap.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” Dokter melepaskan masker di wajahnya dan mulai bersuara.
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi…” Belum selesai dokter bicara, Mama Gista menangis histeris. Diikuti Papanya dan saudara yang lain. Sedangkan Kian, dia terdiam. Dia marah pada dirinya-sendiri. Memaki dan membenci diri-sendiri.
Di pemakaman, tinggal Kian sediri. Dia sangat tertekan saat itu. Hatinya terguncang. Belum lagi dia mengingat kejadian-kejadian yang sebelumnya terjadi. Sakit rasanya jika diingat.
“Ta,” panggil Kian pada nisan Gista. “Padahal, aku ingin mengatakan yang sangat penting kemarin. Kenapa kamu pergi sebelum aku ngomong. Ini semua salahku. Kamu pergi dalam kesedihanmu. Dalam ketertekananmu. Ini semua salahku.” Air mata Kian jatuh.Tiba-tiba cuaca mendung dan mulai gerimis. “Aku hanya ingin bilang… aku sayang kamu. Aku bekerja keras hanya untuk kita. Untuk nanti kita di masa depan. Tapi ini memang salahku. Aku nggak bisa membagi waktuku. Aku…” gemuruh petir menggema. Kian diam sesaat. Sedangkan hujam makin deras. “Aku… aku sayang kamu…”
Sudah lima tahun lebih kematian Gista. Kian masih belum punya penggantinya. Padahal ada orang yang sebaik, setia, dan secantik Gista. Tapi Kian masih ingat Gista. pada suatu hari di pemakaman…
“Ta, sekarang aku dekat sama seseorang. Orangnya cantik, baik, sama seperti kamu. Orangnya juga persis sama kamu. Aku minta izin sama kamu. Boleh kan aku miliki dia? Aku minta izin karena… aku masih belum bisa melupakan kamu. Masih… sayang sama kamu…”
Semua sudah dilalui Gista selama dua minggu ini. Mau tidak mau, Gista menerimanya. Tapi apa daya, hati tak kuat menahan kangen bercampur sebalnya bertemu Kian.
“Yan, kita bisa jalan, besok?” tanya Gista malam Sabtu. Malam itu, Gista telepon Kian menggunakan HP. Kalau telepon rumahnya, percuma. Pasti juga nggak bakalan ada di rumah.
“Aduh, kayaknya nggak bisa deh! Besok aku ada lembur kerja.” Jawab Kian.
“Oh, lembur.” Gista sudah siap akan jawaban Kian. “Tapi, besok kan Sabtu. Masa ada lembur sih? Minggunya kan libur.”
“Perusahaanku harus merombak data ulang. Soalnya ada perusahaan dari luar kota datang ke perusahaanku.”
“Oh,” Gista sudah malas ingin meneruskan pembicaraan ini. “ya udah deh, nggak jadi jalan juga nggak apa-apa. Aku maklum.”
Diputuskannya pembicaraan itu. Tiba-tiba, pikiran buruk mampir di otak Gista. “Buat apa teruskan hubungan ini. Dia sudah nggak peduli lagi sama aku. Toh dia lebih sayang pekerjaannya. Hubungan selama tiga tahun ini, lebih baik pisah. Mungkin status teman lebih baik. Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Ini membuat aku tambah sakit hati.” Katanya pada diri-sendiri. “Tapi, aku masih sayang sama Kian…”
Suatu saat, acara makan malam terlaksana juga. Meski dengan paksaan. “Yan, kamu ini kenapa sih? Kita kan lagi makan malam. Masih mikirin pekerjaan juga? Bisa nggak sih lupain masalah pekerjaan? Sudah lama loh, kita nggak makan malam seperti ini. Sudah satu bulan kita nggak kayak gini.” Sindir Gista.
“Ta, kamu bisa nggak, nggak ngomongin hal kayak gitu! Itu bukan topik pembicaraan yang baik. Masa kamu ungkit masalah kita nggak makan malam satu bulan!” bentaknya.
“Kenapa? Kamu merasa tersindir? Bagus deh, kalau gitu! Berarti kamu sadar, apa yang kamu lakuin selama ini sama aku!”
“Memangnya aku berbuat apa? Aku wajar-wajar aja. Aku nggak mengkhianati kamu!” wajah Kian berubah bingung. Dan berusaha mengingat kejadian apa yang sudah dilakukannya.
“Iya, kamu nggak berbuat apa-apa sama aku. Karena kita sama sekali nggak pernah ketemu!! Kamu nyaris nggak berbuat apa-apa!”
“Maksud kamu?” Kian makin tidak mengerti maksud Gista.“Kamu masih nggak ngerti maksud aku?” Gista beranjak dari duduknya. “Kamu mau tahu? Aku capek, Yan! Aku selalu nunggu kamu ada acara. Aku merasa terabaikan. Sekarang, baru bisa makan malam sekali, kamu bikin suasana nggak enak. Aku ngomong sedikit, kamu sudah marah. Kamu tahu nggak perasaan aku kayak apa?” air mata Gista jatuh. “Aku mau pulang. Aku males mau makan malam sama orang nggak berperasaan kayak kamu!”
Kian ditinggal begitu saja. Kian, masih duduk tak berekspresi. Dia masih bingung sama Gista. Kian membiarkan Gista pergi begitu saja.
Di kampus, Gista terus melamun. Dia masih memikirkan kejadian tadi malam. Selvi, sahabatnya, bingung akan kelakuan Gista yang jadi super-diam ini.
“Ta, kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kamu melamun sendiri?” tanya Selvi. Dia sahabat yang setia. Mengerti sahabatnya betul. Gista berubah sedikit, langsung tahu pasti ada masalah.
“Nggak kok.” Gista bohong.“Nggak? Mana ada orang baik-baik saja, tapi melamun terus. Ada yang dipikirin? Coba kamu cerita ke aku. Mungkin bisa bantu?”
Sesaat mereka diam. Selvi diam, karena dia menunggu Gista sampai dia siap cerita. Sedangkan Gista, dia diam karena dia sendiri bingung akan cerita dari mana.
“Ya udah, kalau masih belum mau cerita. Aku nggak maksa kok.” Ujar Selvi kemudian. “Mungkin kamu butuh sendiri.” Selvi beranjak dari duduknya. Dengan cepat Gista menarik tangan Selvi. Tandanya, dia mulai siap untuk cerita.
“Duduk, Vi.”Sesuai perintah Gista, dia duduk di sebelah Gista.“Vi, aku…” Gista diam lagi.
“Ta, kalau belum siap, nggak usah dipaksain.”
“Aku capek. Sama Kian. Akhir-akhir ini sibuk terus. Aku nggak kuat sama dia. Aku pengin putus.” Ujarnya lirih Selvi tak percaya. “Putus? Yang bener aja. Kalian udah cocok banget. Udah pacaran selama tiga tahun. Gila, kalian itu udah pas banget.”
“Dia lebih sayang sama pekerjaannya. Lebih mentingin pekerjaan dari aku. Setiap mau keluar, pasti ada acara lain. Aku capek!”
“Ta, aku ngerti. Tapi menurutku, dia juga merasa hal yang sama. Dia masih adaptasi sama keadaannya sekarang. Tahun ini dia baru mulai kerja. Jadi wajar kalau dia masih belum bisa membagi waktu sama kamu.”
“Pokoknya aku mau pisah sama dia. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Kalau nyatanya dia sama orang lain gimana. Masa aku tahu. Ketemu aja sebulan sekali. Padahal dia nggak lagi di luar kota.”
“Menurutku, kamu hanya cemburu aja.”
“Vi, kamu ini bukannya kasih solusi tapi malah nyalahin aku.” Gista pergi entah kemana. Selvi ditinggal. Gista merasa semua sudah nggak ada lagi. Hilang…
Di sisi lain…Kian juga sering nggak konsen sama pekerjaannya. Sampai akhirnya dia dipanggil ke kantor pemegang saham di perusahaan itu.
“Anda akhir-akhir ini sering melamun. Ada apa? Apa ada masalah keluarga? Anda bisa bercerita pada saya. Yah, sekedar menenangkan hati Anda kan tidak apa-apa. Mungkin ada yang saya bantu?” Kata Pak Bowo, pemegang saham di perusahaan itu. Kian menjawab sambil tertunduk malu.
“Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil. Masalah saya dengan…” Belum selesai bicara, Pak Bowo langsung menyela.
“Dengan pacar ya? Yah, saya dulu pernah muda. Jadi saya tahu betul. Saya juga sudah mengira. Tapi biar bagaimana pun wanita itu selalu ingin disayang. Atau mungkin anda tidak pernah menyayangi pacar Anda, sehingga dia merasa terabaikan mungkin.”
Kian mengangkat wajahnya. “Terabaikan? Apa mungkin saya tidak menyayangi pacar saya. Sampai-sampai dia marah sama saya?” tanya Kian pada Pak Bowo.
Pak Bowo mengangguk. “Mungkin. Yah, lebih baik, Anda ajak dia makan malam hari ini. Bicarakan baik-baik. Anda jelaskan semua yang telah terjadi. Salah paham itu lebih sulit dari pada masalah yang sebenarnya.”
Kian berdiri dan meraih tangan Pak Bowo. Wajahnya berseri-seri. “Terima kasih, Pak. Iya, saya ingat. Saya sering sekali mengabaikan dia dan mementingkan pekerjaan dari pada dia. Saya sangat berterima kasih. Permisi…” pamit Kian.Kini dia sudah tahu. Apa yang harus dilakukannya. Dia harus mengajaknya bicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dan tentu saja, merubah sikapnya selama ini. Kian menelpon Gista.
“Halo? Nanti malam kita makan malam ya?” ajaknya.
“Nanti malam. Ada apa nih? Kok tiba-tiba ngajak makan malam. Biasanya aku yang ajak makan malam. Udah selesai kerjanya?”
“Iya, nanti malam kita ketemu di restaurant yang biasanya. Oke! Aku tunggu.”
Gista masih bingung. Tapi apa boleh buat. Dia juga ingin mengatakan sesuatu. Yang sangat penting. Dan tidak boleh ditunda lagi.
Malamnya, di sebuah restaurant romantis, Kian dan Gista sudah ada di tempat. Mereka memesan menu spesial. Dan lagi-lagi, Gista bingung sama Kian. Kenapa Kian tiba-tiba berubah jadi berseri sekali.
“Tumben ajak aku makan malam. Mau ngomong sesuatu?” tanya Gista memulai pembicaraan. Tapi nada bicaranya ketus.
“Iya, nih. Apa kamu juga ingin mengatakan sesuatu?”
“Iya, tapi kamu dulu deh.” Katanya masih ketus.
“Oke, mungkin memang lebih dulu aku, karena aku… aku baru sadar akan kelakuanku beberapa minggu ini….”
“Bukan beberapa minggu, tapi sebulan lebih!!” ralatnya.
“Iya, maaf. Sebulan lebih ini, aku terlalu serius sama pekerjaanku. Jadi aku minta maaf. Aku ingin mulai dari nol lagi. Dan… aku janji nggak akan nyuekin kamu lagi.”
Tangannya menggenggam tangan Gista.
“Belum terlambat kan?” Genggaman Kian dilepas mentah-mentah oleh Gista.“Gista?”
“Maaf, Yan. Kamu sudah terlambat. Malam ini, aku minta putus!” Gista berdiri dan meninggalkan Kian sendiri.
“Ta, tapi kita bisa memulainya dari awal!” jerit Kian sambil berlari mengejar Gista. “Gista!! Tunggu!” Kian meraih tangan Gista dan mencegahnya pergi.
“Lepasin! Aku nggak mau hubungan kita ini diterusin.”
“Kenapa enggak? Aku ngaku aku salah. Kamu nggak mau maafin aku? Kita belum terlambat.”
“Kamu pikir satu bulan lebih itu nggak nyiksa bagi aku? Ternyata kamu terlambat. Kamu sadar pas saat aku ingin putus sama kamu!” Kian nggak percaya sama ucapan Gista barusan. Tangannya perlahan melepaskan tangan Gista. Dan begitu tangan Gista lepas seutuhnya, Gista langsung lari tak tentu arah. Saat akan menyebrang jalan, Gista tidak melihat kanan kiri. Sampai akhirnya…CIIIIIT… BRUAK!!! Kian menoleh ke sumber suara.
“Gista…!!!!!!” teriak Kian. Segera dia berlari. Badan lemah Gista berlumuran darah kental yang keluar dari berbagai luka besar. Gista tak sadarkan diri. Kian menggendongnya dan berteriak.
“Panggil ambulan! Cepat!!” teriaknya pada orang-orang yang sedari tadi melihat kejadian itu. “Kenapa kalian hanya menonton saja!! Cepat!!” Tak lama dari kejadian itu, ambulan datang. Gista dibopong masuk ke dalam mobil. Kian juga masuk ke dalam mobil itu. Matanya berair tak tertahankan.
“Ta, bertahan, Ta! Maafin aku! Ini salahku!” sesalnya sambil menggenggam tangan Gista yang berlumuran darah. “Ini salahku, Ta!”Untung saja, rumah sakitnya tidak jauh dari tempat kejadian. Jadi, lebih cepat sampai. Saat kasur dorong Gista mulai diturunkan, semua suster-suster mulai sibuk. Kian sendiri bingung. Dia mengikuti Gista sampai akhirnya dia tidak boleh masuk ke ruang ICU.
“Dok, tolong selamatkan Gista, Dok!” pintanya.
“Kami akan berusaha.” Jawab Dokter singkat. Sungguh lama Kian menunggu kepastian dari dokter. Hatinya gelisah. Dia terus saja menyalahkan dirinya-sendiri.
“Aku nggak akan memaafkan diriku-sendiri kalau terjadi apa-apa sama kamu, Ta!” gumamnya. Dari kejauhan orang tua Gista datang.“Kian, gimana Gista?” tanya Mama Gista.
“Dokternya belum keluar, Tante.” Tiba-tiba dokter yang memerika Gista keluar dari ruangan ICU. Semua langsung menghampiri dokter itu dengan penuh harap.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” Dokter melepaskan masker di wajahnya dan mulai bersuara.
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi…” Belum selesai dokter bicara, Mama Gista menangis histeris. Diikuti Papanya dan saudara yang lain. Sedangkan Kian, dia terdiam. Dia marah pada dirinya-sendiri. Memaki dan membenci diri-sendiri.
Di pemakaman, tinggal Kian sediri. Dia sangat tertekan saat itu. Hatinya terguncang. Belum lagi dia mengingat kejadian-kejadian yang sebelumnya terjadi. Sakit rasanya jika diingat.
“Ta,” panggil Kian pada nisan Gista. “Padahal, aku ingin mengatakan yang sangat penting kemarin. Kenapa kamu pergi sebelum aku ngomong. Ini semua salahku. Kamu pergi dalam kesedihanmu. Dalam ketertekananmu. Ini semua salahku.” Air mata Kian jatuh.Tiba-tiba cuaca mendung dan mulai gerimis. “Aku hanya ingin bilang… aku sayang kamu. Aku bekerja keras hanya untuk kita. Untuk nanti kita di masa depan. Tapi ini memang salahku. Aku nggak bisa membagi waktuku. Aku…” gemuruh petir menggema. Kian diam sesaat. Sedangkan hujam makin deras. “Aku… aku sayang kamu…”
Sudah lima tahun lebih kematian Gista. Kian masih belum punya penggantinya. Padahal ada orang yang sebaik, setia, dan secantik Gista. Tapi Kian masih ingat Gista. pada suatu hari di pemakaman…
“Ta, sekarang aku dekat sama seseorang. Orangnya cantik, baik, sama seperti kamu. Orangnya juga persis sama kamu. Aku minta izin sama kamu. Boleh kan aku miliki dia? Aku minta izin karena… aku masih belum bisa melupakan kamu. Masih… sayang sama kamu…”
0 comments:
Post a Comment