Bersungut-sungut seorang wanita muda Jepang keluar dari pintu
bangunan masjid. Cuaca Tokyo yang dingin tak urung membuat wajahnya
tampak memerah. Sesekali tangannya membetulkan penutup kepala berupa scraf yang terlihat bergeser, dengan mimik wajah tampak kesal.
Saya yang berdiri beberapa jarak darinya, secara tidak sengaja menangkap umpatan dari mulut wanita tersebut. "Mou Islam shinjirarenai! Tasukeai kuseni, uso jan! (Islam
tidak bisa dipercaya, selalu bicaranya saling menolong, ternyata
bohong!)." Sekilas ia memandang ke arah saya lalu kembali berkata, "Islam tak bisa dipercaya!"
Kaget bercampur tak mengerti ujung masalahnya, sebisa mungkin saya
berusaha menyapa wanita tersebut. Mencoba mengulik apa masalah yang
sedang dihadapi. Wanita tersebut diam mematung sejenak. Berdiri di
hadapan saya sambil memandang tajam.
Kikuk dengan tatapannya, saya berusaha sedapat mungkin mencairkan
suasana dengan berkenalan, menyebutkan nama dan negara asal. "Jika ada
yang bisa dibantu, Insya Allah saya akan ikut menolong, " kalimat
tersebut akhirnya keluar dari mulut, dalam kikuk.
Entah kenapa, wanita Jepang dihadapan tiba-tiba menangis "Saya
berIslam untuk bahagia, bukan menderita. Saya datang ke masjid ini
untuk mencari seseorang...." Ucapnya lirih disela isakan tangis.
Memilih Islam adalah pilihan wanita Jepang tersebut sesaat sebelum
menikah dengan seorang pria beda negara, yang beragama Islam. Ia begitu
percaya bahwa pria muslim tersebut akan membawanya kearah kebahagiaan
dunia akhirat. Tak disangka, pernikahan justru membuatnya jatuh ke
dalam lubang yang digalinya sendiri.
Suami yang mengaku Islam, ternyata tidak pernah melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang muslim. Jangankan sholat ataupun puasa
Ramadhan, memberi nafkah penghidupan bagi isteripun tidak pernah.
Hingga ia harus turut bekerja untuk menopang agar dapur 'ngebul' atau
sekedar untuk belanja keperluan sendiri. Sampai suatu ketika, ia
tersontak kaget mendapatkan seluruh tabungan terkuras habis dengan
suami kabur membawa anak semata wayangnya yang masih kecil.
Dalam keadaan panik, ia menghubungi sanak keluarga suami untuk
mencari informasi. "Tak mengapa semua tabungan dibawa pergi, asal anak
dikembalikan, " ucapnya. Sayang, bukan berita baik yang didapat, sanak
keluarga suami malah mencacinya sebagai isteri yang tak baik, ibu yang
tak bertanggung jawab tanpa mau mendengarkan penjelasan darinya.
"Islam? Apakah itu wajah Islam yang sebenarnya? Suka mencaci, senang
menghina, bertengkar, pantas saja banyak yang bilang Islam Teroris!!"
Ucapnya memberondong saya dengan pertanyaan dengan penyataan kesal.
Diam, saya berusaha meresapi ucapannya.
"Bukan, itu bukan wajah Islam. Islam dan orang Islam tidak bisa
disamakan. Islam itu ajaran indah, tapi orang Islam tidak semuanya bisa
dikatakan indah, tergantung akhlaknya." kalimat tersebut terucap dari
mulut saya, setelah sejenak berpikir. Wanita muda tadi kembali menatap
tajam. "Anda aneh! Seharusnya orang yang berikrar telah Islam ya harus
indah seperti ajarannya. Jadi Islam dan orang Islam itu harus sama.
Ibarat cermin, pantulannya sama." Kembali wanita itu membantah.
Entah kenapa, hari itu, akhirnya saya menemukan teman diskusi
menarik tentang Islam. Wanita yang baru berikrar memeluk Islam 3 tahun
lalu, banyak memberikan ‘input’ bagi saya bagaimana orang Islam itu
seharusnya. Di akhir obrolan, wanita Jepang tersebut berkata, "Saya
mungkin kecewaan terhadap orang Islam, tapi tetap jatuh cinta pada
ajaran Islam. Semoga kita bisa menjadi orang Islam yang menjadikan
Islam lebih indah." Kami berpisah setelah saling bertukar nomor telpon,
disertai janji akan saling berhubungan.
Islam dan orang Islam, beberapa hari ini kata-kata tersebut sering
sekali mengelebat dipikiran saya. Terutama yang berhubungan dengan
ucapan teman wanita Jepang di depan pintu masjid. Bahwa Orang Islam
harus identik dengan ajarannya Islam. Islam adalah agama indah, berarti
orang-orang yang di dalamnya harus memiliki hati yang indah.
Bagi saya, yang lahir dan di besarkan secara Islam, kalimat tersebut
ibarat sindiran berupa panah yang menusuk hati. Sudahkan saya menjadi
muslimah yang indah seperti ajaran Islam yang indah? Sudahkan saya
seperti cermin yang memantulkan bayangan indah wujud asli? Sudahkan
orang-orang disekeliling merasa aman dari lidah ataupun perbuatan saya?
Ternyata, masih terlalu banyak hal-hal yang tidak indah ada dalam
diri saya. Semakin direnungkan, semakin saya menemukan
ketidaksempurnaan akhlak diri yang harus diperbaiki.
Diskusi tak terduga tentang Islam, satu siang di depan Masjid Tokyo
membuka pandangan saya. Bahwa merupakan tugas orang Islam untuk
memantulkan cahaya Islam dengan indah. Ajaran Islam adalah ruh,
sedangkan penampakan luar 'fisik' nya adalah orang Islam itu sendiri.
Orang Islam, harus dapat sejalan dengan keindahana ajaran Islam.
Keindahan yang tidak hanya dengan mudah keluar dari mulut, tapi ia juga
perlu suatu bukti dari tingkah laku.
Untuk wanita Jepang di depan pintu masjid, terima kasih karena telah
mengajak berdiskusi secara tidak disengaja. Obrolan satu siang di hari
tersebut, semakin menyadarkan diri bahwa Islam itu indah dan akan
semakin indah jika didukung oleh akhlak indah si pemilik ruhnya.
Alangkah bahagianya jika suatu saat image Islam adalah agama indah berdengung tidak hanya di seantero Jepang, tapi di seluruh dunia.
Wanita Jepang di Depan Pintu Masjid Share|
Posted by BoiMz Soujiro Sagara
Posted on 7:25 AM
with No comments
0 comments:
Post a Comment